
Akses Keuangan Meluas, tapi Pemahaman Masyarakat Masih Tertinggal
Inklusi keuangan di Indonesia terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data OJK, tingkat inklusi keuangan nasional telah mencapai lebih dari 85% pada tahun 2022. Namun, capaian ini belum dibarengi dengan peningkatan literasi keuangan yang sepadan. Indeks literasi keuangan nasional masih berada di kisaran 49%, menunjukkan bahwa meskipun masyarakat memiliki akses ke produk dan layanan keuangan, banyak yang belum memahami cara menggunakannya secara bijak.
Salah satu mitos yang masih melekat di masyarakat adalah bahwa memiliki akses ke rekening bank atau dompet digital sudah cukup untuk meningkatkan kesejahteraan finansial. Faktanya, tanpa pengetahuan dasar tentang bunga, risiko investasi, atau perencanaan keuangan, masyarakat justru rentan terhadap penyalahgunaan layanan keuangan.
Kesenjangan antara inklusi dan literasi ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan sektor keuangan. Jika tidak diatasi, ketidaktahuan dalam pengelolaan keuangan dapat menghambat upaya menciptakan kesejahteraan yang merata. Edukasi finansial harus dilakukan secara masif, tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga menjangkau daerah terpencil dan kelompok masyarakat rentan.
Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah, lembaga keuangan, dan masyarakat untuk memperkuat literasi keuangan. Program-program edukasi harus dikembangkan secara kontekstual dan mudah dipahami, serta diikuti dengan penguatan regulasi perlindungan konsumen. Inklusi keuangan yang ideal bukan hanya tentang akses, tetapi juga tentang kemampuan memahami, memilih, dan menggunakan produk keuangan secara efektif.


